Tingkat pengembangan dan beberapa aliran
filsafat yang melandasi kurikulum
KELOMPOK 4:
Endi Syahputra
Farenty Siregar
Meyori Anastasya
Rahmawati
Ryan
Rezeki Putri Nainggolan
Dedi Hermawan Sembiring
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang dalam kami
sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kemurahanNya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Telaah Kurikulum ini dengan lancar dan
tepat waktu. Adapun tugas makalah ini berisikan tentang hasil diskusi kami
mengenai “ Tingkat Pengembangan dan beberapa aliran filsafat yang melandasi
kurikulum”
Kami menyadari sepenuhnya
akan kemampuan yang masih terbatas, sehingga masih banyak kekurangan yang
terdapat dalam makalah ini dan hasilnya belum dapat dikatakan sempurna. Oleh
karena itu, masukan, kritik dan saran yang sifatnya membangun kami nantikan
dalam rangka kesempurnaan makalah ini. Dan dengan ini kami berharap makalah ini
dapat memberikan dampak baik bagi para pembaca semua.
MEDAN, MARET 2013
KELOMPOK 4
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………………………..2
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………………………………………………………3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………………………4
BAB II PEMBAHASAN
1.
TINGKAT PENGEMBANGAN
1)
TINGKAT SEKOLAH…………………………………………………………………………………………5
2)
TINGKAT KELAS………………………………………………………………………………………………6
2.
BEBERAPA ALIRAN FILSAFAT YANG MELANDASI KURIKULUM
1)
PROGRESIVISME……………………………………………………………………………………………..7
2)
EKSISTENSIALISME………………………………………………………………………………………….9
3)
PERENIALISME………………………………………………………………………………………………..12
4)
ESSENSIALISME………………………………………………………………………………………………12
5)
REKONSTRUKSIONAL………………………………………………………………………………………14
BAB III
PENUTUP……………………………………………………………………………………………………………………………..15
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………………………………..16
BAB
I
PENDAHULUAN
Pengkajian filosofis
terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena membantu dalam memberikan
informasi tentang hakekat manusia sebagai dirinya sendiri baik secara
horisontal maupun secara vertikal. Sehingga kajian tentang realitas
sangat dibutuhkan dalam menentukan tujuan akhir pendidikan. Disisi lain,
kajian filosofis memberikan informasi yang berkaitan dengan
pengetahuan, sumber pengetahuan, nilai, dan Seperti bagaimanakah
pengetahuan itu diperoleh, bagaimana manusia dapat memperoleh nilai tersebut.
Dengan nilai tersebut apakah pendidikan layak untuk diterapkan dan lebih jauh
akan membantu untuk menentukan bagaimana seharusnya pendidikan itu
dilaksanakan. Pendidikan disisi lain tidak bisa melepaskan tujuan untuk
membentuk peserta didik yang memiliki nilai-nilai mulai spritual, agama,
kepribadian dan kecerdasan.
Pendidikan kita tidak sekedar
menempatkan manusia sebagai alat produksi. Manusia harus dipandang
sebagai sumber daya yang utuh. Pendidikan tidak boleh terjebak pada teori-teori
neoklasik, suatu teori yang menempatkan manusia sebagai alat-alat produksi,
dimana penguasaan IPTEK bertujuan menupang kekuasaan dan kepentingan kapitalis.
pendidikan tidak memiliki basis pengembangan budaya yang jelas. Lembaga
pendidikan kita hanya dikembangkan berdasarkan model ekonomik untuk
menghasilkan/ membudaya manusia pekerja (abdi dalem) yang sudah disetel
menurut tata nilai ekonomi yang berlatar (kapitalis) sehingga tidak
mengherankan jika keluaran pendidikan kita menjadi manusia pencari kerja
dan tidak berdaya. Bukan manusia kreatif pencipta keterkaitan
kesejahteraan dalam siklus rangkaian manfaat yang seharusnya menjadi hal
yang paling esensial dalam pendidikan dan pembelajaran.
Salah satu prinsip psikologi
pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada
siswa, tetapi siswalah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran
mereka sendiri. Pengetahuan bukanlah seperangkat
fakta-fakta, konsep-konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil atau diingat.
Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan dan memberi makna melalui pangalaman
nyata. Dalam eksistensialisme bahwa yang nyata adalah yang dapat kita
alami.
BAB
II
PEMBAHASAN
TINGKAT PENGEMBANGAN
1.
Tingkat
Sekolah
Kegiatan
kokurikuler dan ekstrakurikuler termasuk pengembangan kurikulum pada tingkat sekolah.tujuan
kegiatan ini agar siswa memahami secara mendalam yang di pelajari dalam
kegiatan intrakulikuler. Satu contoh kegiatan kurikuler adalah menugaskan murid
mengupulkan informasi tentang macam-macam layanan dengan mengunjungi
daerah-daerahnya. Kegiatan dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan murid
tentang hal yang sedang \dipelajarinya. Kegiatan ekstrakurikuler dikembangkan
untuk menunjang pencapaiaan tujuan intrakulikuler yang dilakukan siswa di luar
jam pelajaran sekolah atau di luar sekolah.
·
Tingkat Pendidikan
Dasar
Pendidikan
dasar diselenggarakan untuk memberikan bekal dasar yang diperlukan untuk hidup
dalam masyarakat berupa pengembangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
menengah. Oleh karena itu pendidikan dasar menyediakan kesempatan bagi seluruh
warga negara untuk memperoleh pendidikan yang bersifat dasar yang berbentuk
Sekolah Dasar (SD) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah
Pertama (SMP) atau bentuk lain yang sederajat. UU RI No. 20 Tahun 2003
menyatakan dasar dan wajib belajar pada Pasal 6 Ayat 1 bahwa, “Setiap warga
negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
·
Tingkat Pendidikan
Menengah
Pendidikan
menengah yang lamanya tiga tahun sesudah pendidikan dasar, di selenggarakan di
SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) atau satuan pendidikan yang sederajat.
Pendidikan menengah dalam hubungan ke bawah berfungsi sebagai lanjutan dan
perluasan pendidikan dasar, dalam hubungan ke atas mempersiapkan peserta didik
untuk mengikuti pendidikan tinggi ataupun memasuki lapangan kerja.
Pendidikan
menengah terdiri atas pendidikan menengah umum, pendidikan menengah kejuruan,
dan pendidikan menengah luar biasa, pendidikan menengah kedinasan dan
pendidikan menengah keagamaan (UU No. 20 Tahun 2003 Bab VI Pasal 18 Ayat 1-3)
·
Tingkat Pendidikan
Tinggi
Pendidikan
tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah, yang diselenggarakan untuk
menyiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan/atau profesional yang yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau
kesenian.
Untuk
dapat mencapai tujuan tersebut lembaga pendidikan tinggi melaksanakan misi
“Tridharma” pendidikan tinggi yang meliputi pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat dalam ruang lingkup tanah air Indonesia sebagai
kesatuan wilayah pendidikan nasional.
Pendidikan
tinggi juga berfungsi sebagai jembatan antara pengembangan bangsa dan
kebudayaan nasional dengan perkembangan internasional. Untuk itu dengan tujuan
kepentingan nasional, pendidikan tinggi secara terbuka dan selektif mengikuti
perkembangan kebudayaan yang terjadi di luar Indonesia untuk di ambil
manfaatnya bagi pengembangan bangsa dan kebudayaan nasional. Untuk dapat
mencapai dan kebebasan akademik, melaksanakan misinya, pada lembaga pendidikan
tinggi berlaku kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan dan otonomi
dalam pengolaan lembaganya.
Satuan
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi di sebut perguruan tinggi
yang dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut, dan
universitas.
Akademi
merupakan perguruan tinggi yang menyelenggaran pendidikan terapan dalam suatu
cabang atau sebagian cabang ilmu pengetahuan teknologi dan kesenian tertentu.
Politeknik
merupakan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan terapan dalam
sejumlah bidang pengetahuan khusus.
Sekolah
tinggi ialah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik
dan/atau profesional dalam satu disiplin ilmu atau bidang tertentu.
Institut
ialah perguruan tinggi terdiri atas sejumlah fakultas yang menyelenggarakan
pendidikan akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu yang
sejenis.
Universitas
ialah perguruan tinggi yang terdiri atas sejumlah fakultas yang
menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau profesional dalan sejumlah
disiplin ilmu tertentu.
Pendidikan
yang bersifat akademik dan pendidikan profesional memusatkan perhatian terutama
pada usaha penerusan, pelestarian, dan pengembangan peradaban, ilmu, dan
teknologi, sedangkan pendidikan yang bersifat profesional memusatkan perhatian
pada usaha peradaban serta penerapan ilmu dan teknologi. Dalam rangka
pengembangan diri, bangsa, dan negara.
2.
Tingkat
Kelas
Pada
tahap ini, kegiatan pengembangan kurikulum adalah berupa penyusunan suatu
pelajaran dengan berpedoman pada GBPP. Kegiatan pada tingkat ini menjadi
kewajiban/tugas guru. Langkah – langkahnya adalah sebagai berikut :
3. Menentukan
identitas pokok bahasan/sub pokok bahasan,kelas/caturwulan dan jalan waktu
dengan mempertimbangkan ruang lingkup materi, jenis – jenis kegiatan belajar,
metode dan jenis kemampuan peserta didik yang ingin dicapai.
4. Merancang
kegiatan belajar – mengajar ( KBM ) dengan memilih suasana belajar yang
mengaktifkan peserta didik ( CBSA ).
5. Merencanakan
cara penilaian untuk memperoleh informasi tentang pencapaian tujuan yang
dicapai setiap pengajaran.
Pengembangan
pada tingkat program yang lebih spesifik inilah yang merupakan kegiatan guru SD
rutin, karena kurikulum/GBPP telah tersedia. Jadi, tugas guru adalah
menjabarkan GBPP menjadi rencana pelajaran berupa Satpel dan menyusun materi
pelajaran yang siap untuk diajarkan di kelas. Tetapi kalau GBPP tidak ada, maka
adalah tugas guru untuk menyusun GBPP dengan mempedomi kurikulum.
BEBERAPA ALIRAN FILSAFAT YANG MELANDASI KURIKULUM
1.
Pandangan
Progressivisme
Selain
kemajuan atau progres, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang
cukup dari progresivisme. Untuk itu filsafat progresivisme menunjukkan dengan
konsep dasarnya sejenis kurikulum yang program pengajarannya dapat mempengaruhi
anak belajar secara edukatif baik di lingkungan sekolah maupun di luar
lingkungan sekolal Tentunya dibutuhkan sekolah yang baik dan kurikulum yang
baik pula.
Sekolah
yang baik itu adalah sekolah yang dapat memberi jaminan para siswanya selama
belajar, maksudnya yaitu sekolah harus mampu membantu dan menolong siswanya
untuk tumbuh dan berkembang serta memberi keleluasaan tempat untuk para
siswanya dalam mengembangkan bakat dan minatnya melalui bimbingan guru dan
tanggung jawab kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila bersifat
fleksibel dan eksperimental (pengalaman) dan memiliki keuntungan-keuntungan
untuk diperiksa setiap saat.
Sikap
progressvisme, memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan
sifat-sifat yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum
sebagai pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan
susunan yang teratur.
Pendidikan
dilaksanakan di sekolah dengan anggapan bahwa sekolah dipercaya oleh masyarakat
untuk membantu perkembangan pribadi anak. Faktor anak merupakan faktor yang
cukup urgen (penting), karena sekolah didirikan untuk anak. Karena itu hak
pribadi anak perlu diutamakan, bukan diciptakan sekehendak yang mendidiknya.
Dengan kata lain anak hendaknya dijadikan sebagai subyek pendidikan bukan
sebagai obyek pendidikan.
Untuk
memenuhi keutuhan tersebut, maka filsafat progresivisme menghendaki jenis
kurikulum yang bersifat luwes (fleksibel) dan terbuka. Jadi kurikulum itu bisa
diubah dan dibentuk sesuai dengan zamannya. Sekolah didirikan karena tidak
mempunyai orang tua atau masyarakat untuk mendidik anak. Karena itu kurikulum
harus dapat mewadahi aspirasi anak, orang tua serta masyarakat. Maka kurikulum
yang edukatif dan eksperimental dapat memenuhi tuntutan itu. Sifat kurikulumnya
adalah kurikulum yang dapat direvisi dan jenisnya yang memadai, yaitu yang
bersifat eksperimental atau tipe Core Curriculum.
Kurikulum
dipusatkan pada pengalaman atau kurikulum eksperimental didasarkan atas manusia
dalam hidupnya selalu berinteraksi didalam lingkungan yang komplek. Untuk itu
ia memerlukan kemampuan untuk beradaptasi dengan lingkungan demi kelestarian
hidupnya. Hidupnya bukan hanya untuk kelestarian pertumbuhan saja, akan tetapi
juga untuk perkembangan pribadinya. Oleh karena itu manusia harus belajar dari
pengalaman.
Pengalaman-pengalaman
itu diperoleh sebagai akibat dari belajar. Anak didik yang belajar di sekolah
akan mendapatkan pengalaman-pengalaman dari lingkungan, di sekolah akan
mendapatkan pengalaman-pengalaman itu yang nantinya dapat diterapkan sesuai
dengan kebutuhan umum (masyarakat sekitar).
Progresivisme
tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang diberikan terpisah, melainkan
harus terintegrasi dalam unit. Dengan demikian core curriculum mengandung
ciri-ciri integrated curriculum, metode yang diutamakan yaitu problem solving.
Dengan
adanya mata pelajaran yang terintegrasi dalam unit, diharapkan anak dapat
berkembang secara fisik maupun psikis dan dapat menjangkau aspek kognitif,
afektif, maupun psikomotor. Dengan berlandaskan sekolah sambil berbuat inilah
praktek kerja di laboratorium, di bengkel, di kebun (Iapangan) merupakan
kegiatan belajar yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing.
Dalam hal ini, filsafat progresivisme ingin membentuk keluaran (out-put) yang
dihasilkan dari pendidikan di sekolah yang memiliki keahlian dan kecakapan yang
langsung dapat diterapkan di masyarakat luas.
W.H
Kilpatrick mengatakan, suatu kurikulum yang dianggap baik didasarkan atas tiga
prinsip:
1.
Meningkatkan kualitas hidup anak didik pada tiap jenjang.
2.
Menjadikan kehidupan aktual anak ke arah perkembangan dalam suatu kehidupan
yang bulat dan menyeluruh.
3.
Mengembangkan aspek kreatif kehidupan sebagai suatu uji coba atas keberhasilan
sekolah sehingga anak didik dapat berkembang dalam kemampuannya yang aktual
untuk aktif memikirkan hal-hal baru yang baik untuk diamalkan, dan dalam hal
ini apa saja yang ingin berbuat serta kecakapan efektif untuk mengamalkan
secara bijaksana melalui pertimbangan yang matang.
Dari
penjelasan yang dikemukakan oleh W.H Kilpatrick tersebut ada beberapa hal yang
perlu diungkapkan yaitu: (1) kurikulum harus dapat meningkatkan kualitas hidup
anak didik sesuai dengan jenjang pendidikan, (2) kurikulum yang dapat membina
dan mengembangkan potensi anak didik, (3) kurikulum yang sanggup mengubah
prilaku anak didik menjadi kreatif, adaptif dan kemandirian dan (4) kurikulum
bersi¬fat fleksibel atau luwes berisi tentang berbagai macam bidang studio.
Melalui
proses pendidikan dengan menggunaka kurikulum yang bersifat intergrated
kurikulum (masalah-masalah dalam masyarakat disusun terintegrasi) dengan metode
pendidikan belajar sambil berbuat (learning by doing) dan metode problem
solving (pemecahan masalah) diharapkan anak didik menjadi maju (progress) mempunyai
kecakapan praktis dan dapat memecahkan problem sosial sehari-hari dengan baik.
2.
Pandangan Eksistensialisme
1.
Pengetahuan.
Teori
pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi,
suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan
peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakan dirinya
terhadap kesadaran manusia. Pengetahuna manusia tergantung kepada pemahamannya
tentang realitas, tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan
yang diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau
karir anak, melainkan untuk dapat dijadikan alat perkembangan dan alat
pemenuhan diri. Pelajaran di sekolah akan dijadikan alat untuk merealisasikan
diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan
tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang
untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
2.
Nilai.
Pemahaman
eksistensialisme terhadap nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan
bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan
suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih,
namun menentukan pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah
yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus
menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah
selesai, karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan
berikutnya. Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan
mungkin juga untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan
tujuannya sendiri. Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat,
maka ia harus menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai
tujuan sendiri, yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan
diperoleh dalam situasi.
a. Tujuan
pendidikan.
Tujuan
pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan
semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan
perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam
menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku
secara umum.
b.
Kurikulum.
Kaum
eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu
berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu
tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”.
Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan para siswa kebebasan
individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan
menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut
pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih
penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu
akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang
dapat memenuhi tuntutan di ats adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra,
filsafat, dan seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk
menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa
sejarah, filsafat, sastra, dan sebagainya.
Dengan
mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan
wawasan para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia,
memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati.
Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun
emosional. Sebagai contoh kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu
perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam
periode apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya dalam
masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari
harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian dari
dirinya.
Kurikulum
eksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni.
Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan
instrospeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang
dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme
menolak apa yang disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba
membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.
c.
Proses belajar mengajar.
Menurut
Kneller (1971), konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan
dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan
antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang
lainnya. Menurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak
dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak
fpeksibel, dimna guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya
buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang
instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan
perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya
dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi
hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga
manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses
belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk
menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka
pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari
pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa
sebagai pertemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan
guru tidak merupakan suatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya,
melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
d.
Peranan guru.
Menurut
pemikiran eksistensialisme, kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta
berlainan dengan situasi yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun
demikian dengan kebebasan yang kita miliki, masing-masing dari kita harus
commit sendiri pada penentuan makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Maxine Greene (Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan
terkenal yang karyanya didasarkan pada eksistensialisme “kita harus mengetahui
kehidupan kita, menjelaskan situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari
sudut pendirian bersama”. Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin
paling bermanfaat dalam mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan
proses edukatif. Sekalipun begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada
siswa memilih dan memberi mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu
mereka menemukan makna dari kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan
keyakinan banyak orang, tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja
yang mereka suka.
Guru
hendaknya member semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu
dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan
ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif,
sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia
melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor
dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti
gurunya.
Guru harus
mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu
berpikir relative dengan melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak
mengarahkan dan tidak member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan
yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi
merupakan metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak
untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu
forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru
membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
3. Pandangan perenialisme
1. Menghendaki pendidikan kembali kepada jiwa
yang menguasai Abad Pertengahan, karena jiwa pada Abad Pertengahan telah
merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata
kehidupan yang telah dapat menemukan adanya prinsip-prinsip pertama yang
mempunyai peranan sebagai dasar pegangan intelektual manusia dan yang dapat
menjadi sarana untuk menemukan evidensi-evidensi diri sendiri (Imam Barnadib,
2002). Tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai
kebijakan dan kebajikan.
2. Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi. Manusia harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan yang kebenarannya pasti, dan abadi. Kurikulum diorganisir dan ditentukan terlebih dahulu oleh orang dewasa, dan ditujukan untuk melatih aktivitas akal, untuk mengembangkan akal. Yang dipentingkan dalam kurikulum adalah mata pelajaran general education yang meliputi bahasa, sejarah, matematika, IPA, filsafat dan seni dan 3 R’S (membaca, menulis, berhitung). Mata-mata pelajaran tersebut merupakan esensi dari general education.
3. Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar literature yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, begitu juga dalam literature yang berhubungan dengan kehidupan social, terutama politik dan ekonomi. Dalam literature-literatur tersebut manusia sepanjang masa telah melahirkan hasil yang maha besar.
4. Pandangan Essensialisme
Esensialisme
adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada
sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance
dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang
utama ialah dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh
fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan
harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang
memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Idealisme
dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk corak esensialisme. Dua
aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur
menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya
masing-masing.
Beberapa
tokoh idealisme memandang bahwa kurikulum itu hendaklah berpangkal pada
landasan idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel Horne dalam bukunya
mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal,
yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal. Kegiatan
dalam pendidikan perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Atas
ketentuan ini kegiatan atau keaktifan anak didik tidak terkekang, asalkan
sejalan dengan fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Bogoslousky,
mengutarakan di samping menegaskan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya
pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum dapat
diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian:
1.
Universum:
Pengetahuan
merupakan latar belakang adanya kekuatan segala manifestasi hidup manusia. Di
antaranya adalah adanya kekuatan-kekuatan alam, asal usul tata surya dan
lain-Iainnya. Basis pengetahuan ini adalah ilmu pengetahuan alam kodrat yang
diperluas.
2.
Sivilisasi:
Karya
yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup masyarakat. Dengan sivilisasi
manusia mampu mengadakan pengawasan tcrhadap lingkungannya, mengejar kebutuhan,
dan hidup aman dan sejahtera .
3.
Kebudayaan:
Kebudayaan
mempakan karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian,
kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilaian mengenai lingkungan.
4.
Kepribadian:
Bagian
yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan
dengan kepribadian yang ideal. Dalam kurikulum hendaklah diusahakan agar
faktor-faktor fisik, fisiologi, emosional dan ientelektual sebagai keseluruhan,
dapat berkembang harmonis dan organis, sesuai dengan kemanusiaan ideal.
Robert
Ulich berpendapat bahwa meskipun pada hakikatnya kurikulum disusun secara
fleksibel karena perlu mendasarkan atas pribadi anak, fleksibilitas tidak tepat
diterapkan pada pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk ini perlu
diadakan perencanaan dengan keseksamaan dan kepastian.
Butler
mengemukakan bahwa sejumlah anak untuk tiap angkatan baru haruslah dididik
untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci. Sedangkan Demihkevich menghendaki
agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi .
Realisme
mengumpamakan kurikulum sebagai balok-balok yang disusun dengan teratur satu
sama lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai kepada yang paling
kompleks. Susunan ini dapat diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang
sederhana merupakan fundamen at au dasar dari susunannya yang paling kompleks.
Jadi bila kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian akan bersifat
harmonis.
5. Pandangan
Rekonstruksionisme
Aliran
rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas
semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya inetelektual
dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang
tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi
yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian
aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu
dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia
yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan
hanya leori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu
dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan,
kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna
kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat
bersangkutan.
Pada
prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk
dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam
bakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan bakikat rohani. Kedua
macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sarna azali dan
abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes,
seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima
atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera
ditangkap oleh panca indera manusia, semen tara itu kenyataan bathin segera
diakui dengan adanya akal dan petasaan hidup. Di balik gerak realita
sesungguhnya terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab
utama atas kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai
penggerak sesuatu tanpa gerak. Tuhan adalah aktualitas murni yang sarna sekali
sunyi dan substansi.
Alam
pikiran yang demikian bertolak hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa
bergantung padii ilmt pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu
berkembang ke arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan
filsafal lebih tinggi dibandingkan ilmu pengetahuan.
BAB III
PENUTUP
Kegiatan
kokurikuler dan ekstrakurikuler termasuk pengembangan kurikulum pada tingkat sekolah.tujuan
kegiatan ini agar siswa memahami secara mendalam yang di pelajari dalam
kegiatan intrakulikuler. Satu contoh kegiatan kurikuler adalah menugaskan murid
mengupulkan informasi tentang macam-macam layanan dengan mengunjungi daerah-daerahnya.
Kegiatan dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan murid tentang hal yang
sedang \dipelajarinya. Kegiatan ekstrakurikuler dikembangkan untuk menunjang
pencapaiaan tujuan intrakulikuler yang dilakukan siswa di luar jam pelajaran
sekolah atau di luar sekolah.
Progresivisme
menunjukkan dengan konsep dasarnya sejenis kurikulum yang program pengajarannya
dapat mempengaruhi anak belajar secara edukatif baik di lingkungan sekolah
maupun di luar lingkungan sekolah,.
Kaum
eksistensialisme menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu
berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suiatu
tingkatan kepekaaan personal yang disebut Greene “kebangkitan yang luas”.
Pandangan perenialisme menghendaki pendidikan kembali
kepada jiwa yang menguasai Abad Pertengahan, karena jiwa pada Abad Pertengahan
telah merupakan jiwa yang menuntun manusia hingga dapat dimengerti adanya tata
kehidupan yang telah dapat menemukan adanya prinsip-prinsip pertama yang
mempunyai peranan sebagai dasar pegangan intelektual manusia dan yang dapat
menjadi sarana untuk menemukan evidensi-evidensi diri sendiri
.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang
memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai
terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Aliran
rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas
semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya inetelektual
dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang
tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi
yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Diktat
Telaah Kurikulum UNIMED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar