Hakikat
Masyarakat dan Hakikat Peserta Didik
OLEH
KELOMPOK 4:
FARENTY SIREGAR
NUR CHAIRUNISA
AMIN FADLY KUDADIRI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang dalam kami
sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat kemurahanNya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Filsafat Pendidikan ini dengan lancar
dan tepat waktu. Adapun tugas makalah ini berisikan tentang hasil diskusi kami
mengenai “Hakikat Masyarakat dan Hakikat Peserta Didik”.
Kami menyadari sepenuhnya
akan kemampuan yang masih terbatas, sehingga masih banyak kekurangan yang
terdapat dalam makalah ini dan hasilnya belum dapat dikatakan sempurna. Oleh
karena itu, masukan, kritik dan saran yang sifatnya membangun kami nantikan dalam
rangka kesempurnaan makalah ini. Dan dengan ini kami berharap makalah ini dapat
memberikan dampak baik bagi para pembaca semua.
MEDAN, NOVEMBER 2012
KELOMPOK 4
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………………………..2
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………………………………………………………………………3
BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………………………………………………………………4
BAB II PEMBAHASAN
1. HAKIKAT
MASYARAKAT……………………………………………………………………………………………………..5
2. HAKIKAT PESERA DIDIK………………………………………………………………………………………………………12
BAB III
PENUTUP……………………………………………………………………………………………………………………………..16
DAFTAR
PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………………………………..17
BAB I
PENDAHULUAN
Berbicara
tentang pendidikan, maka membahas perkembangan peradaban manusia. Perkembangan
pendidikan manusia akan berpengaruh terhadap dinamika sosial-budaya
masyarakatnya. Sejalan dengan itu, pendidikan akan terus mengalami perkembangan
sesuai dengan perkembangan kebudayaan. Banyak pendapat para tokoh
pendidikan yang kemudian berdampak terhadap peradaban manusia. Tulisan ini akan
mendeskripsikan pendapat tentang arti pentingnya pendidikan bagi manusia, serta
sasaran pendidikan secara umum di Indonesia. Pendekatan sistemik terbadap pengembangan melalui pendidikan adalah
pendekatan di mana masyarakat tradisional sebagai input dan pendidikan sebagai
suatu lembaga pendidikan masyarakat sebagai pelaksana proses pengembangan dan
masyarakat yang dicita-citakan sebagai outputnya yang dicita-citakan.
Dalam proses belajar untuk
mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan melembaga,
anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional di mana
institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana anak-anak
belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku tersebut
dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus beijalan dengan
wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa pentingnya masa-masa
permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga berharap sekolah dapat
melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik.
Dalam lembaga-lembaga ini
guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan dianggap dapat mengemban
amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar anak-anak- memahami dan
kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya. Willard Waller dalam
hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah pedesaan sebagai
museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (mnuseum of virture) (Pardius
and Parelius, 1978; p. 24). Dengan anggapan tersebut, masyarakat menginginkan
sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu mengajarkan nilai-nilai kebajikan
dari masyarakatnya (the old viture), atau keseluruhan nilai-nilai yang
diyakini dan menjadi anutan dan pandangan masyarakatnya.
Untuk memberikan pendidikan
mengenai kedisiplinan, rasa hormat dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja
keras, kehidupan bernegara dan kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai
perjuangan bangsa, rasa keadilan dan persamaan, aturan-aturan hukum dan
perundang-undangan dan sebagainya, kiranya lembaga utama yang paling
berkompeten adalah lembaga pendidikan.
1.
HAKIKAT
MASYARAKAT
Masyarakat
adalah suatu perwujudan kehidupan bersama manusia. Dalam masyarakat berlangsung
proses kehidupan sosial, proses antar hubungan dan antar aksi. Dengan demikian
masyarakat dapat diartikan sebagai wadah atau medan tempat berlangsungnya antar
aksi warga masyarakat itu. Untuk mengerti bentuk dan sifat masyarakat dalam
mekanismenya ada ilmu masyarakat (sosiologi) agar lebih baik apabila ia
mengenal “masyarakat” dimana ia menjadi bagian daripadanya, karena tiap-tiap
pribadi tidak saja menjadi warga masyarakat secara pasif.
Berbicara
tentang pendidikan, maka membahas perkembangan peradaban manusia. Perkembangan
pendidikan manusia akan berpengaruh terhadap dinamika sosial-budaya
masyarakatnya. Sejalan dengan itu, pendidikan akan terus mengalami perkembangan
sesuai dengan perkembangan kebudayaan. Banyak pendapat para tokoh
pendidikan yang kemudian berdampak terhadap peradaban manusia. Tulisan ini akan
mendeskripsikan pendapat tentang arti pentingnya pendidikan bagi manusia, serta
sasaran pendidikan secara umum di Indonesia. Pendekatan sistemik terbadap pengembangan melalui pendidikan adalah
pendekatan di mana masyarakat tradisional sebagai input dan pendidikan sebagai
suatu lembaga pendidikan masyarakat sebagai pelaksana proses pengembangan dan
masyarakat yang dicita-citakan sebagai outputnya yang dicita-citakan.
Menurut Ki Hajar Dewantoro ada tiga lingkungan
pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan
masyarakat. Dari
ketetapan MPR No. 1!/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara kita
mengetahui bahwa pendidikan itu merupakan tanggung jawab bersama antara orang
tua, pemerintah dan masyarakat.
Dari dua penjelasan tersebut di atas maka bentuk
pendidikan dibagi menjadi tiga bentuk yaitu pendidikan formal, pendidikan
informal dan pendidikan non formal (Undang-Undang nomor 2/1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional).
Pelaksanaan ketiga bentuk pendidikan adalah lembaga
pemerintah, lembaga keluarga, lembaga keagamaan dan lembaga pendidikan lain.
Lembaga keluarga menyelenggarakan pendidikan informal, lembaga pemerintah,
lembaga keagamaan, lembaga pendidikan yang lain menyelenggarakan pendidikan
formal maupun pendidikan nonfonnal. Bentuk-bentuk pendidikan nonformal cukup
banyak jenisnya, seperti berbagai macam kursus kcterampilan yang mempersiapkan
tenaga terampil. Seperti kursus menjahit, kursus komputer, kursus montir,
kursus bahasa-bahasa asing dan sebagainya. Bentuk pendidikan formal yang
beçjalan ini terdiri dari empat jenjang yaitu SD, SLTP, SLTA dan Perguruan
Tinggi. Menurut Undang Undang Nomor : 2/1989, tentang jenjang pendidikan dibagi
menjadi tiga jenjang yaitu Pendidikan Dasar, Pendidikan Menengah dan Pendidikan
Tinggi. Pendidikan Dasar terdiri dari Sekolah Dasar dan Sekolab Menengah
Tingkat Pertama.
Proses pendidikan dari tiga bentuk pendidikan itu
dipengaruhi oleh sistem politik dan ekonomi. (Muhammad Dimyati, 1988 p, 163).
Dengan adanya bermacam-macam jenis politik dan bermacam-macam kondisi ekonomi
maka arah proses pendidikan akan bermacam-macam untuk masing-masing bentuk
pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga, pemerintah, lembaga keagamaan
dan lembaga-lembaga non-agama.
PERANAN PENDIDIKAN DALAM MASYARAKAT
Sebagian besar masyarakat modern memandang
lembaga-lembaga pendidikan sebagai peranan kunci dalam mencapai tujuan sosial
Pemerintah bersama orang tua telah menyediakan anggaran pendidikan yang
diperlukan sceara besar-besaran untuk kemajuan sosial dan pembangunan bangsa,
untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional yang berupa nilai-nilai luhur yang
harus dilestarikan seperti rasa hormat kepada orang tua, kepada pemimpin
kewajiban untuk mematuhi hukum-hukum dan norma-norma yang berlaku, jiwa
patriotisme dan sebagainya. Pendidikan juga diharapkan untuk memupuk rasa takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, meningkatkan kemajuan-kemajuan dan pembangunan
politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan. Pendek kata pendidikan dapat
diharapkan untuk mengembangkan wawasan anak terhadap ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan secara tepat dan benar,
sehingga membawa kemajuan pada individu masyarakat dan negara untuk mencapai
tujuan pembangunan nasional.
Berbicara tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam masyarakat ada bermacam-macam pendapat, di bawah ini disajikan tiga pendapat tentang fungsi pendidikan dalam masyarakat.
Wuradji (1988) menyatakan bahwa pendidikan sebagai lembaga konservatif mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: (1) Fungsi sosialisasi, (2) Fungsi kontrol sosial, (3) Fungsi pelestarian budaya Masyarakat, (4) Fungsi latihan dan pengembangan tenaga kerja, (5) Fungsi seleksi dan alokasi, (6) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial, (7) Fungsi reproduksi budaya, (8) Fungsi difusi kultural, (9) Fungsi peningkatan sosial, dan (10) Fungsi modifikasi sosial. ( Wuradji, 1988, p. 31-42).
Jeane H. Ballantine (1983) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) fungsi sosialisasi, (2) fungsi seleksi, latihan dan alokasi, (3) fungsi inovasi dan perubahan sosial, (4) fungsi pengembangan pribadi dan sosial (Jeanne H. Ballantine, 1983, p. 5-7).
Meta Spencer dan Alec Inkeles (1982) menyatakan bahwa fungsi pendidikan dalam masyarakat itu sebagai berikut: (1) memindahkan nilai-nilai budaya, (2) nilai-nilai pengajaran, (3) peningkatan mobilitas sosial, (4) fungsi stratifikasi, (5) latihan jabatan, (6) mengembangkan dan memantapkan hubungan hubungan sosial (7) membentuk semangat kebangsaan, (8) pengasuh bayi.
Dari tiga pendapat tersebut di atas, tidak ada perbedaan tetapi saling melengkapi antara pendapat yang satu dengan pendapat yang lain.
1) Fungsi Sosialisasi.
Di dalam masyarakat pra industri, generasi baru belajar mengikuti pola perilaku generasi sebelumnya tidak melalui lembaga-lembaga sekolah seperti sekarang ini. Pada masyarakat pra industri tersebut anak belajar dengan jalan mengikuti atau melibatkan diri dalam aktivitas orang-orang yang telah lebih dewasa. Anak-anak mengamati apa yang mereka lakukan, kemudian menirunya dan anak-anak belajar dengan berbuat atau melakukan sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang telah dewasa. Untuk keperluan tersebut anak-anak belajar bahasa atau simbol-simbol yang berlaku pada generasi tua, menyesuai kan diri dengan nilai-nilai yang berlaku, mengikuti pandangannya dan memperoleh keterampilan-keterampilan tertentu yang semuanya diperoleh lewat budaya masyarakatnya. Di dalam situasi seperti itu semua orang dewasa adalah guru, tempat di mana anak-anak meniru, mengikuti dan berbuat seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih dewasa. Mulai dari permulaan, anak-anak telah dibiasakan berbuat sebagaimana dilakukan oleh generasi yang lebih tua. Hal itu merupakan bagian dari perjuangan hidupnya. Segala sesuatu yang dipelajari adalah berguna dan berefek langsung bagi kehidupannya sehari-hari. Hal ini semua bisa terjadi oleh karena budaya yang berlaku di dalam masyarakat, di mana anak menjadi anggotanya, adalah bersifat stabil, tidak berubah dan waktu ke waktu, dan statis.
Dengan semakin majunya masyarakat, pola budaya menjadi lebih kompleks dan memiliki diferensiasi antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lain, antara yang dianut oleh individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain masyarakat tersebut telah mengalami perubahan-perubahan sosial. Ketentuan-ketentuan untuk berubah ini sebagaimana telah disinggung di halaman-halaman situs web ini sebelumnya, mengakibatkan terjadinya setiap transmisi budaya dan satu generasi ke generasi berikutnya selalu menjumpai permasalahan-permasalahan. Di dalam suatu masyarakat sekolah telah melembaga demikian kuat, maka sekolah menjadi sangat diperlukan bagi upaya menciptakan/melahirkan nilai-nilai budaya baru (cultural reproduction).
Dengan berdasarkan pada proses
reproduksi budaya tersebut, upaya mendidik anak-anak untuk mencintai dan
menghormati tatanan lembaga sosial dan tradisi yang sudah mapan adalah menjadi
tugas dari sekolah. Termasuk di dalam lembaga-lembaga sosial tersebut
diantaranya adalah keluarga, lembaga keagamaan, lembaga pemerintahan dan
lembaga-lembaga ekonomi. Di dalam permulaan masa-masa pendidikannya, merupakan
masa yang sangat penting bagi pembentukan dan pengembangan pengadopsian nilai-nilai
ini. Masa-rnasa pembentukan dan pembangunan upaya pengadopsian ini dilakukan
sebelum anak-anak mampu memiliki kemampuan kritik dan evaluasi secara rasional.
Sekolah-sekolah menjanjikan kepada anak-anak gambaran tentang apa yang dicita-citakan oleh lembaga-lembaga sosialnya. Anak-anak didorong, dibimbing dan diarahkan untuk mengikuti pola-pola prilaku orang-orang dewasa melalui cara-cara ritual tertentu, melalui drama, tarian, nyanyian dan sebagainya, yang semuanya itu merupakan ujud nyata dari budaya masyarakat yang berlaku. Melalui cara-cara seperti itu anak. anak dibiasakan untuk berlaku sopan terhadap orang tua, hormat dan patuh terhadap norma-norma yang berlaku. Lembaga-lembaga agama mengajarkan bagaimana penganutnya berbakti kepada Tuhannya berdasarkan tata cara tertentu.
Lembaga-lembaga pemerintahan mengajarkan bagaimana anak kelak apabila telah menjadi warga negara penuh, memenuhi kewajiban-kewajiban negara, memiliki jiwa patriotik dan memiliki kesadaran berwarga negara. Semua ajaran dan pembiasaan tersebut pada permulaannya berlangsung melalui proses emosional, bukan proses kognitif.
Dalam proses belajar untuk mengikuti pola acuan bagi tatanan masyarakat yang telah mapan dan melembaga, anak-anak belajar untuk menyesuaikan dengan nilai-nilai tradisional di mana institusi tradisional tersebut dibangun. Keseluruhan proses di mana anak-anak belajar mengikuti pola-pola dan nilai-nilai budaya yang berlaku tersebut dinamakan proses sosialisasi. Proses sosialisasi tersebut harus beijalan dengan wajar dan mulus oleh karena kita semua mengetahui betapa pentingnya masa-masa permulaan proses sosialisasi. Orang tua dan keluarga berharap sekolah dapat melaksanakan proses sosialisasi tersebut dengan baik. Dalam lembaga-lembaga ini guru-guru di sekolah dipandang sebagai model dan dianggap dapat mengemban amanat orang tua (keluarga dan masyarakat) agar anak-anak- memahami dan kemudian mengadopsi nilai-nilai budaya masyarakatnya. Willard Waller dalam hubungan ini menganggap sekolah, terutama di daerah-daerah pedesaan sebagai museum yang menyimpan tentang nilai-nilai kebajikan (mnuseum of virture) (Pardius and Parelius, 1978; p. 24). Dengan anggapan tersebut, masyarakat menginginkan sekolah beserta staf pengajarnya harus mampu mengajarkan nilai-nilai kebajikan dari masyarakatnya (the old viture), atau keseluruhan nilai-nilai yang diyakini dan menjadi anutan dan pandangan masyarakatnya. Untuk memberikan pendidikan mengenai kedisiplinan, rasa hormat dan patuh kepada pemimpin, kemauan kerja keras, kehidupan bernegara dan kehidupan demokrasi, menghormati, nilai-nilai perjuangan bangsa, rasa keadilan dan persamaan, aturan-aturan hukum dan perundang-undangan dan sebagainya, kiranya lembaga utama yang paling berkompeten adalah lembaga pendidikan.
Sekolah mengemban tugas untuk melaksanakan upaya-upaya mengalihkan nilai-nilai budaya masyarakat dengan mengajarkan nilai-nilai yang menjadi way of life masyarakat dan bangsanya. Untuk memenuhi fungsi dan tugasnya tersebut sekolah menetapkan program dan kurikulum pendidikan, beserta metode dan tekniknya secara paedagogis, agar proses transmisi nilai-nilai tersebut berjalan lancar dan mulus.
Dalam hubungannya dengan transmisi nilai-nilai, terdapat beragam budaya antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, dan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Sebagai contoh sekolah-sekolah keguruan di Uni Soviet dan Amerika. Di Uni Soviet guru-guru harus mengajarkan rasa solidaritas dan rasa tanggung jawab untuk menyatu dengan kelompoknya dengan mengembangkan sistem kompetisi di antara mereka. Sementara di Amerika Serikat guru harus mengembangkan kemampuan untuk hidup mandiri dan kemampuan bersaing dengan melakukan upaya-upaya kompetisi penuh di antara siswa-siswa.
2) Fungsi kontrol sosial
Sekolah dalam menanamkan nilai-nilai dan loyalitas terhadap tatanan tradisional masyarakat harus juga berfungsi sebagai lembaga pelayanan sekolah untuk melakukan mekanisme kontrol sosial. Durheim menjelaskan bahwa petididikan moral dapat dipergunakan untuk menahan atau mengurangi sifat-sifat egoisme pada anak-anak menjadi pribadi yang merupakan bagian masyarakat yang integral di mana anak harus memiliki kesadaran dan tanggung jawab sosial. (Jeane H. Bellatine, 1983, p.8). Melalui pendidikan semacam ini individu mengadopsi nilai-nilai sosial dan melakukan interaksi nilai-niiai tersebut dalam kehidupannya sehari-hari Selanjutnya sebagai individu sebagai anggota masyarakat ia juga dituntut untuk memberi dukungan dan berusaha untuk mempertahankan tatanan sosial yang berlaku.
Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan-tatanan sosial serta kontrol sosial mempergunakan program-program asimilasi dan nilai-nilai subgrup beraneka ragam, ke dalam nilai-nilai yang dominan yang memiliki dan menjadi pola anutan bagi sebagiai masyarakat.
Sekolah berfungsi untuk mempersatukan nilai-nilai dan pandangan hidup etnik yang beraneka ragam menjadi satu pandangan yang dapat diterima seluruh etnik. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sekolah berfungsi sebagai alat pemersatu dan segala aliran dan pandangan hidup yang dianut oleh para siswa. Sebagai contoh sekolah di Indonesia, sekolah harus menanamkan nilai-nilai Pancasila yang dianut oleh bangsa dan negara Indonesia kepada anak-anak di sekolah.
3) Fungsi pelestarian budaya masyarakat.
Sekolah di samping mempunyai tugas untuk mempersatu budaya-budaya etnik yang beraneka ragam juga harus melestanikan nilai-nilai budaya daerah yang masih layak dipertahankan seperti bahasa daerah, kesenian daerah, budi pekerti dan suatu upaya mendayagunakan sumber daya lokal bagi kepentingan sekolah dan sebagainya.
Fungsi sekolah berkaitan dengan konservasi nilai-nilai budaya daerah ini ada dua fungsi sekolah yaitu pertama sekolah digunakan sebagai salah satu lembaga masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai tradisional masyarakat dari suatu masyarakat pada suatu daerah tertentu umpama sekolah di Jawa Tengah, digunakan untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa Tengah, sekolah di Jawa Barat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Sunda, sekolah di Sumatera Barat untuk mempertahankan nilai-nilai budaya Minangkabau dan sebagainya dan kedua sekolah mempunyai tugas untuk mempertahankan nilai-nilai budaya bangsa dengan mempersatukan nilai-nilai yang ada yang beragam demi kepentingan nasional.
Untuk memenuhi dua tuntutan itu maka perlu disusun kurikulum yang baku yang berlaku untuk semua daerah dan kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi dan nilai-nilai daerah tertentu.
Oleh karena itu sekolah harus menanamkan nilai-nilai yang dapat menjadikan anak itu menjadi yang mencintai daerahnya dan mencintai bangsa dan tanah airnya.
4) Fungsi seleksi, latihan dan pengembangan tenaga kerja.
Jika kita amati apa yang terjadi dalam masyarakat dalam rangka menyiapkan tenaga kerja untuk suatu jabatan tertentu, maka di sana akan terjadi tiga kegiatan yaitu kegiatan, latihan untuk suatu jabatan dan pengembangan tenaga kerja tertentu.
Proses seleksi ini terjadi di segala bidang baik mau masuk sekolah maupun mau masuk pada jabatan tertentu. Untuk masuk sekolah tertentu harus mengikuti ujian tertentu, untuk masuk suatu jabatan tertentu harus mengikuti testing kecakapan tertentu. Sebagai contoh untuk dapat masuk pada suatu sekolah menengah tertentu harus menyerahkan nllai EBTA Murni (NEM). Dan nilai NEM yang masuk dipilih nilai NEM yang tinggi dari nilai tertentu sampai nilai yang terendah. Jika bukan nilai yang menjadi persyaratan yang ketat tetapi biaya sekolah yang tak terjangkau untuk masuk sekolah tertentu. Oleh karena itu anak yang nilainya rendah dan ekonominya lemah tidak kebagian sekolah yang mutunya tinggi. Demikian pula untuk memangku jabatan pada pekerjaan tertentu, mereka yang diharuskan mengikuti seleksi dengan berbagai cara yang tujuannya untuk memperoleh tenaga kerja yang cakap dan terampil sesuai dengan jabatan yang akan dipangkunya.
Sekolah sebagai lembaga yang berfungsi untuk latihan dan pengembangan tenaga kerja mempunyai dua hal. Pertama sekolah digunakan untuk menyiapkan tenaga kera profesional dalam bidang spesialisasi tertentu. Untuk memenuhi ini berbagai bidang studi dibuka untuk menyiapkan tenaga ahli dan terampil dan berkemampuan yang tinggi dalam bidangnya. Kedua dapat digunakan untuk memotivasi para pekerja agar memiliki tanggung jawab terhadap kanier dan pekerjaan yang dipangkunya.
Sekolah mengajarkan bagaimanan menjadi seorang yang
akan memangku jabatan tertentu, patuh terhadap pimpinan, rasa tanggung jawab
akan tugas, disiplin mengerjakan tugas sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan. Sekolah juga mendidik agar seseorang dapat menghargai harkat dan
martabat manusia, memperlakukan manusia sebagai manusia, dengan memperhatikan
segala bakat yang dimilikinya demi keberhasilan dalam tugasnya.
Sekolah mempunyai fungsi pengajaran, latihan dan
pendidikan. Fungsi pengajaran untuk menyiapkan tenaga yang cakap dalam bidang
keahlian yang ditekuninya. Fungsi latihan untuk mendapatkan tenaga yang
terampil sesuai dengan bidangnya, sedang fungsi pendidikan untuk menyiapkan
seorang pribadi yang baik untuk menjadi seorang pekerja sesuai dengan
bidangnya. Jadi fungsi pendidikan ini merupakan pengembangan pribadi sosial.
5) Fungsi pendidikan dan perubahan sosial.
Pendidikan mempunyai fungsi untuk mengadakan perubahan sosial mempunyai fungsi (1) melakukan reproduksi budaya, (2) difusi budaya, (3) mengembangkan analisis kultural terhadap kelembagaan-kelembagaan tradisional, (4) melakukan perubahan-perubahan atau modifikasi tingkat ekonomi sosial tradisional, dan (5) melakukan perubahan-perubahan yang lebih mendasar terhadap institusi-institusi tradisional yang telah ketinggalan.
Sekolah berfungsi sebagai reproduksi budaya menempatkan sekolah sebagai pusat penelitian dan pengembangan. Fungsi semacam ini merupakan fungsi pada perguruan tinggi. Pada sekolah-sekolah yang lebih rendah, fungsi ini tidak setinggi pada tingkat pendidikan tinggi.
Pada masa-masa proses industrialisasi dan modernisasi pendidikan telah mengajarkan nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan baru, seperti orientasi ekonomi, orientasi kemandirian, mekanisme kompetisi sehat, sikap kerja keras, kesadaran akan kehidupan keluarga kecil, di mana nilai-nilai tersebut semuanya sangat diperlukan bagi pembangunan ekonomi sosial suatu bangsa. Usaha-usaha sekolah untuk mengajarkan sistem nilai dan perspektif ilmiah dan rasional sebagai lawan dan nilai-nilai dan pandangan hidup lama, pasrah dan menyerah pada nasib, ketiadaan keberanian menanggung resiko, semua itu telah diajarkan oleh sekolah sekolah sejak proses modernisasi dari perubahan sosial Dengan menggunakan cara-cara berpikir ilmiah, cara-cara analisis dan pertimbangan-pertimbangan rasional serta kemampuan evaluasi yang kritis orang akan cenderung berpikir objektif dan lebih berhasil dalam menguasai alam sekitarnya.
Lembaga-lembaga pendidikan disamping berfungsi sebagai penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi penghasil nilai-nilai budaya baru juga berfungsi sebagai difusi budaya (cultural diffission). Kebijaksanaan-kebijaksanaan sosial yang kemudian diambil tentu berdasarkan pada hasil budaya dan difusi budaya. Sekolah-sekolah tersebut bukan hanya menyebarkan penemuan-penemuan dan informasi-informasi baru tetapi juga menanamkan sikap-sikap, nilai-nilai dan pandangan hidup baru yang semuanya itu dapat memberikan kemudahan-kemudahan serta memberikan dorongan bagi terjadinya perubahan sosial yang berkelanjutan.
Fungsi pendidikan dalam perubahan sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis kritis berperan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru tentang cara berpikir manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil menciptakan generasi baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis, sikap tidak mudah menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang tanggap terhadap perubahan. Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan melepaskan diri dari ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain, terutama pada mereka yang berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk mempenoleh kemerdekaan politik, sosial dan ekonomi, seperti yang diajukan oleh Paulo Friere. Dalam banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju, pendidikan orang dewasa telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah kemampuan kritis ini telah berlangsung dengan sangat intensif. Pendidikan semacam itu telah berhasil membuka mata masyarakat terutama didaerah pedesaan dalam penerapan teknologi maju dan penyebaran penemuan baru lainnya.
Pengaruh dan upaya pengembangan berpikir kritis dapat memberikan modifikasi (perubahan) hierarki sosial ekonomi. Oleh karena itu pengembangan berpikir knitis bukan saja efektif dalam pengembangan pnibadi seperti sikap berpikir kritis, juga berpengaruh terhadap penghargaan masyarakat akan nilai-nilai manusiawi, perjuangan ke arah persamaan hak-hak baik politik, sosial maupun ekonomi. Bila dalam masyarakat tradisional lembaga-lembaga ekonomi dan sosial didominasi oleh kaum bangsawan dan golongan elite yang berkuasa, maka dengan semakin pesatnya proses modernisasi tatanan-tatanan sosial ekonomi dan politik tersebut diatur dengan pertimbangan dan penalaran-penalaran yang rasional. Oleh karena itu timbullah lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik yang berasaskan keadilan, pemerataan dan persamaan. Adanya strata sosial dapat terjadi sepanjang diperoleh melalui cara-cara objektif dan keterbukaan, misalnya dalam bentuk mobilitas vertikal yang kompetitif.
6) Fungsi Sekolah dalam Masyarakat
DI muka telah dibicarakan tentang adanya tiga bentuk pendidikan yaitu pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal disebut juga sekolah. Oleh karena itu sekolah bukan satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tetapi masih ada lembaga-lembaga lain yang juga menyelenggarakan pendidikan. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan mempunyai dua fungsi yaitu (1) sebagai partner masyarakat dan (2) sebagai penghasil tenaga kerja. Sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang di dalam lingkungan masyarakat. Pengalarnan pada berbagai kelompok masyarakat, jenis bacaan, tontonan serta aktivitas-aktivitas lainnya dalam masyarakat dapat mempengaruhi fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah. Sekolah juga berkepentingan terhadap perubahan lingkungan seseorang di dalam masyarakat. Perubahan lingkungan itu antara lain dapat dilakukan melalui fungsi layanan bimbingan, penyediaan forum komunikasi antara sekolah dengan lembaga sosial lain dalam masyarakat. Sebaliknya partisipasi sadar seseorang untuk selalu belajar dari lingkungan masyarakat, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh tugas-tugas belajar serta pengarahan belajar yang dilaksanakan di sekolah.
Fungsi sekolah sebagai partner masyarakat akan dipengaruhi pula oleh sedikit banyaknya serta fungsional tidaknya pendayagunaan sumber-sumber belajar di masyarakat. Kekayaan sumber belajar dalam masyarakat seperti adanya orang-orang sumber, perpustakaan, museum, surat kabar, majalah dan sebagainya dapat digunakan oleh sekolah dalam menunaikan fungsi pendidikan.
Sebagai produser kebutuhan pendidikan masyarakat sekolah dan masyarakat memiliki ikatan hubungan rasional di antara keduanya. Pertama, adanya kesesuaian antara fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Kedua, ketepatan sasaran atau target pendidikan yang ditangani oleh lembaga persekolahan akan ditentukan pula o!eh kejelasan perumusan kontrak antara sekolah selaku pelayan dengan masyarakat selaku pemesan. Ketiga, keberhasilan penunaian fungsi sekolah sebagai layanan pesanan masyarakat sebagian akan dipengaruhi oleh ikatan objektif di antara keduanya.
2.
HAKIKAT PESERTA DIDIK
Menurut kamus Echols & Shadaly,
individu adalah kata benda dari individual yang berarti orang, perseorangan,
oknum (Siti Hartinah : 2008). Manusia diciptakan sebagai makhluk yang
unik. Masing-masing diberi kelebihan dan kekurangan. Tidak ada satu pun manusia
yang hanya memiliki sisi positif. Sebaliknya, tidak ada manusia yang hanya memiliki
sisi negatif. Keinginan untuk menjadi diri sendiri itu ada pada setiap manusia.
Maka setiap peserta didik yang berada dalam ikatan pendidikan dengan
pendidiknya, adalah mereka yang kebebasannya ingin menjadi ”diri sendiri”.
Uraian tentang manusia dengan kedudukannya
sebagai peserta didik haruslah menempatkan manusia sebagai pribadi yang utuh.
Dalam kaitannya dengan kepentingan pendidikan, akan lebih ditekankan hakikat
manusia sebagai kesatuan sifat makhluk individu dan makhluk sosial, sebagai
kesatuan jasmani dan rohani, dan sebagai makhluk Tuhan dengan menempatkan
hidupnya didunia sebagai persiapan kehidupannya diakhirat. Dalam kegiatan
kependidikan, sasaran yang kita harapkan akan menjadi orang dewasa adalah
peserta didik, mereka menjadi tumpuan harapan agar menjadi manusi yang utuh,
manusia bersusila dan bermoral, bertanggung jawab bagi kehidupan, baik bagi
dirinya maupun bagi masyarakat.
Dalam bahasa Indonesia, makna siswa,
murid, pelajar dan peserta didik merupakan sinonim (persamaan), semuanya
bermakna anak yang sedang berguru (belajar dan bersekolah), anak yang sedang
memperoleh pendidikan dasar dari sutu lembaga pendidikan. Peserta didik adalah
subjek utama dalam pendidikan. Dialah yang belajar setiap saat.
Peserta didik merupakan seseorang yang
sedang berkembang memiliki potensi tertentu dengan bantuan pendidik (guru), ia
mengembangkan potensinya tersebut secara optimal . Istilah peserta didik
merupakan sebutan bagi semua orang yang mengikuti pendidikan dilihat dari
tatanan makro. Menurut UU no.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis
pendidikan tertentu.
Dalam pengertian umum, anak didik adalah
setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang
menjalankan kegiatan pendidikan.sedangkan dalam arti sempit anak didik adalah
anak (pribadi yang belum dewasa) yang diserahkan kepada tanggung jawab pendidik
(Yusrina, 2006)
Peserta didik menunjukkan seseorang
manusia yang belum dewasa yang akan dibimbing oleh pendidiknya untuk
menuju kedewasaan. Peserta didik adalah komponen masukan dalam sistem
pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan, sehingga menjadi
manusia yang berkualitas sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Dari uraian tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud peserta didik adalah individu manusia yang
secara sadar berkeinginan untuk mengembangkan potensi dirinya (jasmani dan
ruhani) melalui proses kegiatan belajar mengajar yang tersedia pada jenjang
atau tingkat dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik dalam kegiatan
pendidikan merupakan obyek utama (central object), yang kepadanya
lah segala yang berhubungan dengan aktivitas pendidikan dirujukkan.
Karakteristik Peserta Didik
Setiap peserta didik memiliki ciri dan
sifat atau karakteristik yang diperoleh lingkungan. Agar pembelajaran dapat
mencapai hasil yang optimal guru perlu memahami karakteristik peserta didik.
Karakteristik bawaan merupakan karakteristik yang dimiliki sejak lahir baik
menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis Untuk
mengetahui siapa peserta didik perlu dipahami bahwa sebagai manusia yang sedang
berkembnag menuju kearah ke dewasaan memiliki beberapa karakteristik.
Dalam mengungkapkan ciri-ciri anak
didik Edi Suardi (1984) mengemukakan 3 ciri anak didik:
1. Kelemahan dan
ketidakberdayaan.
Anak ketika dilahirkan dalam keadaan
lemah yang tidak berdaya untuk dapat bergerak harus melalui berbagai tahapan.
Kelemahan yang dimiliki anak adalah kelemahan rohaniah dan jasmaniah misalnya
tidak kuat gangguan cuaca juga rohaniahnya tidak mampu membedakan keadaan yang
berbahaya ataupun menyenangkan. Kelemahan dan ketidakberdayaan anak makin lama
makin hilang karena berkat bantuan dan bimbingan pendidik atau yang disebut
dengan pendidikan. Pendidikan akan berhenti manakala kelemahan dan
ketidakberdayaan sudah berubah menjadi kekuatan dan keberdayaan, yaitu suatu
keadaan yang dimiliki oleh orang dewasa. Pendidikan justru ada karena adanya
ciri kelemahan dan ketidakberdayaan tersebut.
2. Anak
didik adalah makhluk yang ingin berkembang
Keinginan berkembang yang menggantikan
ketidakmampuan pada saat anak lahir merupakan karunia yang besar untuk membawa
mereka ketingkat kehidupan jasmaniah dan rohaniah yang tinggi lebih tinggi
lebih tinggi dari makhluk lainnya. Keinginan berkembang mendorong anak untuk
giat, itulah yang menyebabkan adanya kemungkinan atau pergaln yang disebut
pendidikan. Tanpa keinginan berkembang pada anak, akan menjadikan tidak ada
kemauan tidak mempunyai vitalitas, tidak giat bahkan barang kali menjadi malas
dam acuh tak acuh.
3. \ Anak didik
yang ingin menjadi diri sendiri.
Sepeti pernah dikemukakan bahwa anak
didik itu ingin menjadi diri sendiri. Hal tersebut penting baginya karena untuk
dapat bergaul dalam masyarakat. Seseorang harus merupakan diri sendiri, orang
seorang atau pribadi. Tanpa itu manusia akan menjadi manusia penurut, dan
manusia yang tidak punya pribadi. Pendidikan yang bersifatotoriter bahkan
mematikan pribadi anak yang sedang tumbuh.
Secara garis besar karakteristik
peserta didik dibentuk oleh dua faktor yaitu.
- Faktor bawaan merupakan faktor yang diwariskan dari
kedua orang tua individu yang menentukan karakteristik fisik dan terkadang
intelejensi,
- Faktor lingkungan merupakan faktor yang menentukan
karakteristik spiritual, mental, psikis, dan juga terkadang fisik dan
intelejensi. Faktor lingkungan dibagi menjadi tiga yaitu
a. lingkungan
keluarga,
Ø Pada
lingkungan keluarga seperti motivasi dari kedua orang tua agar menjadi orang
yang sukses kedepannya dan tidak boleh kalah dengan kesuksesan orang tuanya,
kesuksesan teman orang tuanya, kesuksesan anak teman orang tuanya, ingin
merubah nasib keluarga yang melarat, motivasi sebagai kakak yang merupakan
contoh bagi adik-adiknya, motivasi sebagai adik yang tidak boleh kalah dengan
kesuksesan kakaknya.
b. lingkungan sekolah,
Ø Dari
lingkungan sekolah seperti motivasi ingin menjadi juara kelas, motivasi ingin
kaya karena melihat orang tua temannya yang kaya, ataupun motivasi dari
gurunya.
c. lingkungan
masyarakat.
Ø
Lingkungan masyarakat misalnya motivasi dari tetangganya yang sukses, motivasi
karena keluarganya selalu diremehkan masyarakat, ataupun motivasi karena
masyarakatnya diremehkan masyarakat lain.
Setelah mengetahui faktor-faktor
tersebut guru dapat memahami bahwa peserta didiknya digolongkan sebagai
individu yang unik dan pilah karena peserta didik pada hakikatnya terdiri dari
individu-individu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Terdapatnya
perbedaan individual dalam diri masing-masing peserta didik membuat guru harus
pandai-pandai menempatkan porsi keadilan dengan tepat pada setiap peserta
didiknya. Misalnya saja dalam pelajaran fisika, tentunya tidak semua siswa
berminat dalam pelajaran fisika, mungkin ada siswa berminat pada musik, lantas
guru tidak harus memaksanya untuk dapat menyukai fisika apalagi memaksakan agar
paham fisika lebih mendalam dengan memberikan soal dan tugas yang banyak dan
sulit ditambah lagi sanksinya yang berat bila tidak dapat mengerjakan
soal/tugas tersebut. Hal inilah yang nantinya menciptakan potensi buruk pada
diri peserta didik sebagai hasil ketidakpuasanya terhadap lingkungan yang
diterimanya.
Pada prinsipnya perkembangan psikis
peserta didik selalu ke arah yang lebih baik seiring dengan tingkat materi
pelajaran yang diberikan juga semakin tinggi sehingga membuat peserta didik
terbiasa berpikir secara realistis dan sistematis. Tapi guru hendaknya mendukung
dan membantunya mengembangkan potensi tersebut agar lebih optimal. Peserta
didik yang demikian tidak perlu diajarkan fisika sampai mendalam karena itu
hanya akan membuatnya menjadi jenuh pada setiap pertemuan dan sudah menjadi
kompetensi guru untuk dapat menyadari hal ini, tapi bisa juga divariasikan
konsep-konsep fisika yang berhubungan dengan bidang yang diminatinya,
seandainya peserta didik tersebut tidak mengerti paling tidak pasti ia akan
menikmati proses pembelajaran di kelasnya. Selain dengan cara itu guru juga
bisa melakukan pendekatan-pendekatan dalam proses pembelajaran terhadap peserta
didiknya dengan terlebih dahulu membaca situasi. Misalnya saja dengan
memberikan kesempatan kepada siswa yang pintar untuk mengajarkan kepada
temannya yang kurang mengerti. Seperti itulah guru yang profesional.
BAB III
PENUTUP
·
Fungsi pendidikan dalam perubahan
sosial dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis kritis berperan untuk
menanamkan keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai baru tentang cara berpikir
manusia. Pendidikan dalam era abad modern telah berhasil menciptakan generasi
baru dengan daya kreasi dan kemampuan berpikir kritis, sikap tidak mudah
menyerah pada situasi yang ada dan diganti dengan sikap yang tanggap terhadap
perubahan. Cara-cara berpikir dan sikap-sikap tersebut akan melepaskan diri
dari ketergantungan dan kebiasaan berlindung pada orang lain, terutama pada
mereka yang berkuasa. Pendidikan ini terutama diarahkan untuk mempenoleh
kemerdekaan politik, sosial dan ekonomi, seperti yang diajukan oleh Paulo
Friere. Dalam banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju, pendidikan
orang dewasa telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga masalah kemampuan
kritis ini telah berlangsung dengan sangat intensif. Pendidikan semacam itu
telah berhasil membuka mata masyarakat terutama didaerah pedesaan dalam
penerapan teknologi maju dan penyebaran penemuan baru lainnya.
·
Setelah mengetahui
faktor-faktor tersebut guru dapat memahami bahwa peserta didiknya digolongkan
sebagai individu yang unik dan pilah karena peserta didik pada hakikatnya
terdiri dari individu-individu yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Terdapatnya perbedaan individual dalam diri masing-masing peserta didik membuat
guru harus pandai-pandai menempatkan porsi keadilan dengan tepat pada setiap
peserta didiknya. Misalnya saja dalam pelajaran fisika, tentunya tidak semua
siswa berminat dalam pelajaran fisika, mungkin ada siswa berminat pada musik,
lantas guru tidak harus memaksanya untuk dapat menyukai fisika apalagi
memaksakan agar paham fisika lebih mendalam dengan memberikan soal dan tugas
yang banyak dan sulit ditambah lagi sanksinya yang berat bila tidak dapat
mengerjakan soal/tugas tersebut. Hal inilah yang nantinya menciptakan potensi
buruk pada diri peserta didik sebagai hasil ketidakpuasanya terhadap lingkungan
yang diterimanya.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pengajar. Filsafat Pendidikan. 2012. Medan:
UNIMED.
http://oktaseiji.wordpress.com/2011/04/24/hakikat-peserta-didik/
http://pakguruonline.pendidikan.net/buku_tua_pakguru_dasar_kpdd_152.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar